KAIDAH MAKNA BAHASA INDONESIA | Syoretta's Blog

Senin, 18 September 2017

KAIDAH MAKNA BAHASA INDONESIA

KAIDAH MAKNA

Disusun untuk Memenuhi Tugas 
Mata Kuliah Bahasa Indonesia

Dosen Pengampu : Marijke Louise Ellen, M.Pd


Disusun Oleh :

Kelompok 8

1. Hawineyni Syoretta

2. Nora Islamia

3. Eni Setyawati


POLITEKNIK KESEHATAN PALANGKARAYA
KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN REGULER XIX
TAHUN 2016/2017





KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena denga rahmat-Nya, kami sebagai penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah Sederhana ini dibuat untuk memenuhi penugasan oleh dosen mata kuliah bahasa Indonesia Marijke Louise Ellen, M.Pd selaku dosen mata ajar bahasa Indonesia.
Makalah ini menguraikan tentang “Kaidah Makna”. Oleh karena itu dalam makalah ini akan membahas bagaimana mengetahui cara penggunaan kata yang sesuai dengan kaidah serta norma-norma berbahasa yang berlaku.
Penulis menyadari masih banyak sekali kesalahan dan kekurangan dalam menyusun makalah ini. Maka kami mohon maaf jika terdapat kesalahan serta kekurangan. Semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.


Palangkaraya, 18 September 2016     
           
               Tim Penulis             



DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR…………………………...………...……..…….……….…....I
DAFTAR ISI……………………………………...………..……....….……….........II
BAB I (PENDAHULUAN )
A. Latar Belakang Masalah………………………………………….……………..
B. Rumusan Masalah …………….………………….……...………….….............
C. Tujuan Penulisan…………………………………………………………………
BAB II ( PEMBAHASAN )
A. Pengertian Tentang Kata……………………………………….……………….
B. Makna Kata (semantik)………………………………………………....………
C.Makna dan Pemilihan Kata dalam Kalimat………..….………………………
            1. Konsep Makna…………………………………………………………..
2. Homonimi……………………………………………………………….
3. Polisemi ………………………………………………………………….
4. Hipernimi dan Hiponimi ………………………………………………
5. Sinonimi…………………………………………………………………
6. Antonimi ……………………………………………………………….
7. Konotasi ………………………………………………………………..
BAB III ( PENUTUP )
A. Kesimpulan………………………………………………….……...…………..
B. Saran………………………………………………………….…………...........
DAFTAR PUSTAKA……………………………………..………………………..III




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah

Pemilihan kata dalam kalimat adalah proses pembentukan kalimat atau kata-kata yang kita susun dalam sebuah wacana supaya dapat kita gunakan untuk menyampaikan amanat atau pesan kepada lawan bicara kita. Agar amanat atau pesan yang  kita  sampaikan itu dapat diterima dengan baik dan sesuai dengan konsep yang kita inginkan. Kiranya kita harus dapat memahami makna dan pemilihan kata dalam kalimat, banyak faktor-faktor yang perlu diperhatikan seperti konsep makna, homonimi, polisemi, hipernimi, hiponimi, sinonimi, antonimi, dan konotasi. Oleh karena itu, ada berbagai makna dan kata-kata yang perlu untuk dipilih untuk menyusun sebuah kalimat yang baik, efektif, tidak rancu dan sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penyusun tertarik untuk menguraikan lebih lanjut melalui beberapa rumusan diantaranya:
1. Bagaimana kita memahami makna dan pemilihan kata dalam kalimat ?
2. Apa saja faktor yang perlu diperhatikan menurut konsep makna ?

C. Tujuan Penulisan

Dengan rumusan-rumusan tersebut di atas, tujuan yang ingin dicapai oleh penyusun adalah untuk mengetahui ;
1. Memahami makna dan pemilihan kata dalam kalimat.
2. Agar dapat menyusun sebuah kalimat yang baik, efektif, tidak rancu dan sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan.



BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Tentang Kata

Kata adalah apa yang kita ucapkan atau kita dengar. Kalau kita mendengar/membaca suatu kata, dalam benak kita timbul gambaran. Bagi kita gambaran itu merupakan makna kata tersebut.
Definisi kata yang dikemukakan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yaitu kata adalah unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbahasa. (Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa : 395). Contoh : Hubungan antara kata durian dengan maknanya dapat digambarkan sebagai buah yang berduri-duri yang isinya enak dimakan = referensi.
Kata merupakan bentuk istilah yang dapat berdiri sendiri sebagai unsur kalimat yang terdiri atas bentuk dasar, bentuk akar, gabungan bentuk dasar atau akar, dan bentuk berimbuhan atau gabungannya. Bila ditinjau dari sudut ortografi, kata adalah merupakan bentuk istilah yang ejaannya di teks diapit oleh spasi.
Di samping iu, kata adalah merupakan susunan beberapa huruf yang sedemikian rupa sehingga mengandung arti atau makna.

B. Makna Kata (Semantik)

Kata adalah salah satu unsur dasar bahasa yang sangat penting dengan kata-kata kita berpikir, menyatakan perasaan serta gagasan dengan kata-kata orang menjalin persahabatan, dua bangsa melakukan perjanjian perdamaian dan kerjasama. Tapi sebaliknya dengan kata-kata pula mungkin suatu pertengkaran bahkan peperangan dimulai. Sedangkan semantik adalah ilmu bahasa yang mengupas arti dan makna kata.

C. Makna dan Pemilihan Kata dalam Kalimat

Menurut Abdul Chaer (2006: 144) Kalimat dalam sebuah wacana digunakan untuk menyampaikan amanat atau pesan kepada lawan bicara kita. Agar amanat yang kita sampaikan dapat diterima dengan baik, kita harus memilih kata-kata dengan sebaik-baiknya dan sesuai dengan konsep dan amanat yang ingin kita sampaikan. Secara umum dibedakan adanya dua macam kata, yaitu:
1)      Kata-kata yang mengandung makna, konsep, atau pengertian.
2)      Kata-kata yang tidak mengandung makna, melainkan hanya memiliki konsep.
Kata-kata yang termasuk golongan pertama jumlahnya relatif banyak, kemungkinan akan terus bertambah sesuai dengan perkembangan kebudayaan dan masyarakat. Kata-kata yang termasuk golongan pertama ini adalah yang bias disebut kata benda, kata kerja, dan kata sifat. Kata-kata yang termasuk golongan kedua jumlahnya relatif terbatas, kecil kemungkinan untuk bertambah lagi. Kata-kata yang termasuk golongan kedua ini adalah yang bisa disebut kata penghubung, kata depan, kata sandang, dan kata keterangan.
Penggunaan kedua macam golongan kata itu secara gramatikal sudah dibicarakan di muka. Namun, penggunaan yang benar secara gramatikal saja belum tentu menghasilkan bentuk-bentuk wacana yang dapat menyampaikan amanat dengan tepat dan benar. Ketepatan sebuah wacana masih bergantung juga pada ketepatan makna kata-kata yang digunakan serta berbagai hal yang berkenaan dengan makna tersebut. Misalnya kalimat:
-          Kucing itu menulis surat.
Secara gramatikal kalimat tersebut adalah kalimat yang benar. Tetapi secara semantik kalimat tersebut tidak dapat diterima, sebab tidak ada hubungan semantik  (makna kata) antara kata kerja menulis yang menjadi predikat kalimat itu dengan kata benda kucing yang menjadi subjeknya. Kata kerja menulis mengandung makna ‘perbuatan yang dapat dilakukan manusia’, padahal kucing yang menjadi subjek kalimat tersebut bukan manusia. Berbeda halnya jika subjek kalimat tersebut kita ganti dengan kata benda lurah sehingga menjadi:
-          Lurah itu menulis surat.
Makna kalimat tersebut secara gramatikal dan secara semantik bias diterima. Lurah adalah kata benda manusia, yang bias melakukan perbuatan menulis. Jadi, ada hubungan antara subjek dengan predikat di dalam kalimat tersebut. Perhatikan kedua kalimat tersebut!
-          Kucing itu makan nasi.
-          Lurah itu makan nasi.
Kedua kalimat tersebut bisa diterima walaupun yang pertama subjeknya adalah kucing yang bukan manusia dan yang kedua adalah Lurah  yang manusia. Keterterimaan kedua kalimat itu adalah karena kata kerja makan yang menjadi predikat pada kedua kalimat tersebut mengandung makna ‘perbuatan yang biasa dilakukan oleh makhluk hidup, baik manusia maupun binatang’. Bagaimana dengan kalimat:
-          *Kucing itu makan kursi.
-          *Lurah itu makan kursi.
Kedua kalimat tersebut secara semantik tidak bisa diterima. Ketidakterimaannya adalah karena tidak ada hubungan semantik antara kata kerja makan yang menjadi predikat kalimat tersebut dengan kata benda kursi yang menjadi objek kalimat tersebut. Kursi adalah kata kerja yang tidak mengandung makna ‘makanan’. Jadi, tidak ada hubungan semantik antara kata kerja makan  dengan kata benda kursi. Lain halnya dengan kata benda nasi pada contoh kalimat sebelumnya yang memang mengandung makna ‘makanan’.
Menurut Abdul Chaer (2006 : 384) Setiap kata, dari golongan pertama yang tersebut di atas, sesungguhnya merupakan lambang dari sesuatu konsep atau pengertian. Konsep atau pengertian yang dilambangkannya ini dapat berupa konsep benda, tindakan proses, keadaan, atau konsep lainnya. Setiap kata hanya melambangkan sebuah konsep, atau setiap konsep hanya dilambangkan sebuah kata. Tentu tidak ada masalah kita dalam menggunakan kata-kata itu, tetapi dalam bahasa Indonesia atau bahasa lain sering kali tidak demikian. Hubungan antarkata sebagai lambang dengan konsep sebagai makna kata bias macam-macam. Kita harus bias dengan baik menggunakan kata-kata tersebut kalau kita mengerti hal-hal yang menyangkut masalah hubungan kata dengan maknanya tersebut seperti masalah: (1) konsep makna, (2) homonimi, (3) polisemi, (4) hipernimi dan hiponimi, (5) sinonim, (6) antonimi, dan (7) konotasi.

1. Konsep makna
Dalam pelajaran bahasa sering dikatakan, bahwa kata mati, misalnya sama maknanya dengan kata meninggal. Benarkah kata mati sama maknanya dengan kata meninggal? Menurut teori semantik kata mati dan kata meninggal tidak sama maknanya. Sebab, kalau kedua kata itu sama maknanya, tentunya dapat dipertukarkan secara bebas. Pada kenyataan kata itu tidak dapat dipertukar secara bebas. Kata mati dalam kalimat “ayam itu sudah mati” tidak dapat ditukar dengan kata meninggal sehingga menjadi “ ayam itu sudah meninggal”. Kalimat “ayam itu sudah meninggal” tidak bisa diterima dalam pertukaran bahasa Indonesia yang wajar. (Abdul Chaer, 2006: 384).
Kalau begitu mengapa orang bias mengatakan bahwa kata mati sama maknanya dengan kata meninggal? Sesungguhnya  di sini bukanlah makna kedua kata itu, melainkan hanya informasinya saja. Kedua itu sama-sama member informasi, bahwa yang tadinya bernyawa, sekarang setelah mati atau meninggal, menjadi tidak bernyawa lagi. Informasi bukan makna, sebab makna menyangkut keseluruhan masalah dalam ujaran (intralingual), sedangakan informasi ituhanya menyangkut masalah luar ujaran (ekstra-lingual). Dengan kata lain, makna menyangkut semua komponen konsep yang terdapat pada sebuah benda, sedangkan informasi hanya menyangkut komponen konsep dasarnya saja. Kalau kita bandingkan kata mati dan meninggal, maka akan kita dapati komponen-komponen konsepnya sebagai berikut:                                                          
Mati
Meninggal
1) tidak bernyawa lagi                                                    
1)  tidak bernyawa lagi
2)      untuk umum (manusia, binatang                                
dan sebagainya)
2)  hanya manusia
3)      kasar                                                                           
3) halus (sopan)

Informasi hanya menyangkut komponen konsep nomor 1 ; sedangkan makna menyangkut juga komponen konsep nomor 2, 3, dan seterusnya. Sekarang cobalah anda bandingkan makna kata:
-          meninggal             dengan           mangkat
-          rata                        dengan           datar
-          hotel                      dengan           losmen
-          menyebabkan        dengan           mengakibatkan
-          laki-laki                 dengan           jantan

2. Homonimi  
Homonimi adalah dua buah kata atau lebih yang sama bentuknya tetapi maknanya berlainan. Kata-kata yang berhomonimi ini sesungguhnya merupakan kata-kata yang kebetulan saja  bentuknya sama. Oleh karena itu, maknanya tidak juga sama. Misalnya, kata bisa yang bermakna ‘racun ular’ adalah berhomonimi dengan kata bisa yang berarti ‘sanggup, dapat’. Contoh lain, kata buku yang bermakna ‘kitab’, dengan buku yang bermakna ‘ruas pada bamboo (tebu)’, dan juga buku yang bermakna ‘tulang, persendian’.
Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta kata-kata yang berhomonimi ini diberi tanda pembeda dengan angka Romawi. Jadi, (Abdul Chaer, 2006: 385-386)
            buku I  ….
            buku II ….
            buku III ….
Tetapi di dalam Kamus Bahasa Indonesia yang disusun oleh Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kata-kata yang berhomonimi itu diperbedakan dengan angka Arab di muka kata-katatersebut. Jadi:
1 buku ….
2 buku ….
3 buku ….
Adakalanya kata-kata yang berhomonimi ini hanya sama bunyinya saja (biasa disebut dengan istilah homofon) sedangkan ejaannya tidak sama. Misalnya kata sangsi yang berarti ‘ragu’ dan kata sanksi yang berarti ‘akibat, konsekuensi’. Contoh lain kata bang sebagai kependekan dari kata abang dan kata bank yang berarti ’lembaga yang mengatur peredaran uang.
Sebaliknya ada juga kata-kata yang berhomonimi ini hanya sama ejaanya saja (biasanya disebut dengan istilah homograf) sedangkan lafalnya tidak sama. Misalnya, kata teras (lafalnya teras) yang berarti di luar rumah’ dan teras (lafalnya teras) yang berarti ‘pati, inti, utama’. Contoh lain, perhatikan kata mengukur pada kedua kalimat berikut!
-          Petugas agrarian sedang mengukur tanah yang akan dijual itu.
-          Ibu mengukur kelapa lebih dahulu sebelum mengupas pisang itu.

3. Polisemi
Polisemi adalah kata-kata yang maknanya lebih dari satu, sebagai akibat terdapatnya lebih dari sebuah komponen konsep makna pada kata-kata tersebut. Umpamamnya kata kepala yang antara lain mengandung komponen makna:
-          Anggota tubuh manusia (binatang).
-           Sangat penting (orang bias hidup tanpa kaki tetapi tidak mungkin tanpa kepala).
-          Terletak sebelah atas.
-          Bentuknya bulat.
Maka dengan demikian kata kepala itu selain berarti (1) anggota tubuh manusia (binatang), juga memiliki arti (2) pemimpin atau ketua, (3) orang atau jiwa, (4) bagian sangat penting, (5) bagian yang berada di sebelah atas, (6) sesuatu yang bentuknya bulat atau menyerupai kepala. Perhatikan kata kepala pada kalimat-kalimat berikut yang mengandung makna tersebut.
-          Bahu dan kepalanya luka kena pecahan kaca.
-          Ayahnya diangkat menjadi kepala sekolah dasar di Medan.
-          Setiap kepala mendapat bantuan lima ribu rupiah.
-          Rangkaian kereta api itu belum dapat diberangkatkan karena kepalanya rusak.
-          Pada kepala surat itu ada tertulis nomor teleponnya.
-          Terdapat bintik-bintik di kulitnya sebesar-besar kepala jarum.

4. Hipernimi dan Hiponimi
Hipernimi adalah kata-kata yang bermakna melingkupi makna kata-kata yang lain. Misalnya kata burung maknanya melingkupi makna kata seperti merpati, kepondang, tekukur, perkutut, murai, dan cucakrawa. Dengan kata lain yang disebut burung bukan hanya merpati saja atau tekukur saja, tetapi termasuk juga perkutut, murai, kepodang, dan sebagainya. Contoh lain, kata kendaraan maknanya melingkupi makna kata-kata seperti kuda, sepeda, bemo, kereta api, dan sebagainya.
Kata-kata yang berhipernimi ini karena maknanya melingkupi makna sejumlah kata-kata lain, maka sering kali bersifat umum. Padaahal dalam berbahasa kita harus cermat menggunakan kata dengan maknanya yang tepat. Karena itu, kalau kita hendak mengatakan “ingin membeli sepeda” maka sebaiknya katakanlah sepeda, jangan kendaraan, yang menjadi hiperniminya.
Bagaimana dengan kata segitiga? Kata segitiga juga merupakan kata yang hipernimi, sebab maknanya melingkupi konsep makna berbagai bentuk segitiga. Seperti tampak pada bagian berikut. (Abdul Chaer, 2006: 387).


Dalam kasus segitiga ini, agar menjadi jelas, biasanya diberi keterangan, seperti menjadi segitiga sama kaki, sama sisi, siku-siku,tumpul, lancip, dan sembarang. Kebalikan dari hipernimi adalah hiponimi. Kalau hipernimi adalah kata atau ungkapan yang maknanya melingkupi makna kata atau ungkapan lain, maka hiponimi adalah kata atau ungkapan lain. Umpamanya makna kata merpati termasuk kedalam makna kata burung; makna kata kuning termasuk didalam makna kata warna.
5.  Sinonimi
Sinonimi adalah dua buah kata atau lebih yang maknanya kurang lebih sama. Dikatakan “kurang lebih” karena memang, seperti sudah bicarakan di atas tidak akan dua buah kata berlainan yang maknanya persis sama. Yang sama sebenarnya hanya informasinya saja, sedangkan maknanya tidak persis sama. Kita lihat kata mati dan meninggal, kedua kata ini disebut bersinonim. Demikian juga kata bunga, kembang dan puspa.
Bahwa kata-kata yang bersinonimi itu tidak persis sama maknanya, terbukti dari tidak dapatnya kata-kata yang bersionim itu diperlukan secara bebas. Kkita bias mengatakan “kucing itu mati”; tetapi tidak bisa “*kucing itu meninggal*”.
Menurut Abdul Chaer (2006: 388-389) sinonim ini bisa terjadi antara lain sebagai akibat adanya:
(a)    Perbedaaan dialek sosial, seperti kata isteri bersinonimi dengan kata bini. Tetap kata isteri digunakan dalam kalangan atasan sedangkan bini dalam kalangan bawahan.
(b)   Perbedaan dialek regional, seperti kata handuk bersinonim dengan kata tuala; tetapi kata tuala hanya dikenal di beberapa daerah di Indonesia timur saja.
(c)    Perbedaan dialek temporal, seperti kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan; tetapi kata hulubalang hanya cocok digunakan dalam suasana klasik saja.
(d)   Perbedaan ragam bahasa sehubungan dengan bidang kegiatan kehidupan, seperti kata mengubah bersinonim dengan kata menempah. Tetapi kata mengubah dilakukan dalam arti membuat karya seni sedangkan kata menempah dalam arti ‘membuat’ barang logam.
(e)    Pengaruh bahasa daerah atau bahsa asing lain, seperti kata akbar dan kolosal yang bersinonim dengan kata besar. Kata auditorium dan aula yang bersinonim dengan kata bangsal dan pendopo.

    
Disamping itu dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata-kata bersinonim yang digunakan menurut kelaziman, yang untuk dapat menggunakannya tidak ada jalan lain kecuali menghafalkannya, kecuali kata indah, tampan, dan cantik. Ketiga kata ini bersinonim. Namun, penggunaannya sudah tentu. Kita bisa mengatakan:

-          Pemandangan
-          Rumah                     indah
-          loncat

tampan
-          Pemuda                       
-          Laki-laki


-         Mahasiswa               
-         Gadis                        cantik
-          Artis

Tetapi, menurut kelaziman, kita dapat mengatakan:
*pemandangan                  cantik
*pemuda                            indah
*gadis                                tampan
6. Antonimi
Antonimi adalah dua buah kata yang maknanya “dianggap” berlawanan. Dikatakan “dianggap” karena sifat kata berlawanan dari dua kata yang berantonim itu sngat relative. Ada kata-kata yang mutlak berlawanan seperti kata mati dengan kata hidup; kata siang dengan kata malam. Ada juga yang tidak mutlak seperti kata jauh dengan kata dekat; kata kaya dengan kaya miskin. Seseorang yang “tidak kaya” belum tentu “miskin”. Begitu juga sesuatu yang “tinggi” belum tentu “tidak rendah”. Malah dalam sebuah berita di surat kabar ada kalimat berbunyi:
-          Tembok penjara setinggi itu masih terlalu rendah untuk penjahat itu.
Bagaimana, setinggi itu tetapi masi terlalu rendah?
Ada juga kata-kata berantonim, yang sesungguhnya tidak menyatakan “perlawanan”, malah menyatakan “adanya yang satu karena adanya yang lain”. Seperti kata menjual dangan kata membeli. Jika tidak ada membeli tentu tidak aka n ada menjual. Begitu juga sebaliknya.
Contoh lain, kata suami dan kata isteri, yang sering disebut berantonim. Kata suami ada karena adanya kata isteri. Jadi, kata-kata seperti menjual dan membeli atau suami dan isteri sesungguhnya tidak menyatakan ‘lawan’, melainkan menyatakan saling ‘melengkapi’.
Cobalah anda perhatikan pasangan kata berikut, yang sering dianggap berantonim, lalu anda periksa apakah keantonimannya bersifat mutlak, bersifat relatif, atau bersifat saling melengkapi.
guru                        x          murid
Banyak                   x          sedikit
Gelap                      x          terang
Lautan                    x          daratan
Akhirnya, satu hal lagi yang perlu dicatat berkenaan dengan soal antonimi ini adalah: hendaknya Anda berhati-hatindalam mencari “lawan” sebuah kata. Jangan sampai, misalnya, anda mengatakan kata merah berantonim dengan kata putih, sebab sesuatu yang tidak merah atau bukan merah belum tentu sama dengan putih. Ada kemungkinan hijau, biru, atau kuning.

7.  Konotasi
Konotasi atau nilai rasa kata adalah pandangan baik buruk atau positif yang diberikan oleh sekelompok masyarakat terhadap sebuah kata. Nilai rasa kata ini sangat ditentukan oleh pengalaman, kebiasaan, dan pandangan hidup yang dianut masyarakat pemakai bahasa itu. Misalnya kata amplop yang sebenarnya ‘sampul surat’, dalam masyarakat kita dewasa ini memiliki konotasi yang buruk atau negatif, karena kata amplop ini bermakna uang sogok atau uang suap, seperti tampak pada kalimat.
-          Beri saya amplop, maka urusan kita akan cepat sekali!
Contoh lain, kata kebijaksaan yang sebenarnya yang sebenarnya bermakna ‘kearifan atau kepandaian dalam mempertimbangkan dan melakukan sesuatu perbuatan”. Kini mempurnyai konotasi yang kurang baik karena kata kebijaksanaan itu sering digunakan untuk menutupi perbuatan atau tindakan yang melanggar peraturan atau hukum yang berlaku.
Karena nilai-rasa-rasa ini tergantung pada pengalaman, kebiasaan, dan pandangan hidup suatu kelompok masyarakat bahasa, maka ada kemungkinan nilai-rasa sebuah kata berbeda dari satu daerah dengan daerah lain, atau dari suatu tingkat atau kelompok sosial masyarakat dengan kelompok sosial masyarakat lainnya. Umpamanya kata babi yang makna sebenarnya ‘sebangsa binatang ternak berkaki empat’ di daerah-daerah yang penduduknya manyoritas beragama Islam memiliki nilai-rasa jijik, kotor, haram. Tetapi di daerah yang penduduknya tidak beragam islam tentu tidak bernilai rasa demikian.
Contoh lain, kata laki dan bini dalam masyarakat yang berstatus sosial tinggi memiliki nilai rasa ‘rendah, kasar, tidak sopan’. Tetapi dalam masyarakat kelas bawah tidak bernilai rasa demikian.



BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan

-Secara umum kata dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a.Kata-kata yang mengandung makna, konsep, atau pengertian. Kata-kata itu mempunyai jumlah yang relatif banyak, yaitu kata benda, kata kerja, kata sifat.
b.Kata-kata yang tidak mengandung makna, melainkan hanya mempunyai fungsi gramatikal saja, jumlahnya juga relatif terbatas, yaitu kata penghubung, kata depan, kata sandang dan kata keterangan.
-Polisemi adalah kata yang mempunyai makna lebih dari satu.
-Hipernimi adalah kata-kata yang maknanya melingkupi makna kata-kata lain.
-Hiponimi adalah kata atau ungkapan yang maknanya termasuk di dalam makna atau ungkapan lain.
-Homonimi adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya kebetulan sama, maknanya tentu saja berbeda.
-Sinonimi adalah adalah dua buah kata atau lebih yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya.
-Antonimi adalah dua buah kata yang maknanya dianggap berlawanan.
-Konotasi atau nilai rasa kata adalah pandangan baik-buruk atau positif-negatif yang diberikan oleh sekelompok masyarakat bahasa terhadap sebuah kata.

B. Saran

Sebagai seorang mahasiswa yang tahu dalam segala hal, perbaikilah kata-kata dalam berbahasa agar tidak menyeleweng dari ejaan yang telah ditentukan, karena akan patalnya sebuah komunikasi ketika kita menggunakan kata-kata itu dengan tidak benar. Oleh karena itu, gunakan kata-kata sesuai dengan norma-norma atau kaidah makna yang ada.




DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2006. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2003. Spikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Keraf, Gorys. 1984. Tata Bahasa Indonesia. Jakarta: Nusa Indah.


Semoga bermanfaat^^ 
loading...

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

 
Syoretta's Blog Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template